Senin, 21 April 2008

Puisi Kita

Mungkin kita jiwa yang telah sama berharap

Panjang dan tak kunjung datangnya ia

Dan tak pula mampu melihat dalam-dalam

Hingga kita sama hampir menyerah

Kita jiwa yang sama gelisah

Yang tak terucap

Sama lelah

dan harusnya berhenti,

Sama tiada mengerti, dalam bersama.

Dan harusnya sama diam dan dalam hayati,

Harus satu.


Kamis, 17 April 2008

Pada Kereta ( I )

Jakarta-Purwokerto kutempuh dengan kereta bisnis, pada akhir Minggu beberapa waktu lalu. Pada hari di ambang malam. Bagiku, dengan gaji yang sangat standar, harga tiketnya terasa mahal, apalagi dalam kondisi keuangan yang sedang tidak kondusif. Tapi demi sebuah penghargaan terhadap perempuan yang telah pernah menjadikan masa kecilku penuh dengan nuansa, kulewati juga perjalanan yang tidak selalu menyenangkan.
Ku terbayang pada bau cerobong asap. Peluh dalam sesak. Minyak gosok bercampur dengan minyak wangi. 'Pesing'. Tangisan bayi. Ah, akankah perjalananku sunyi di antara ingar-bingar itu semua? Ternyata kereta bisnisku sedikit lebih baik dari bayanganku, mungkin karena malam.
"Turun di mana, Dik?" laki-laki yang duduk di sebelahku bertanya saat kereta bergerak menjauhi Jakarta.
"Purwokerto."
"O, kalo saya Solo. Berapa harga tiketnya kalau cuma sampai Purwokerto."
"Jauh-dekat harganya sama."
"Mustinya Adik ini naik kereta sebelumnya, yang jurusan Purwokerto dan Cilacap. Tiketnya lebih murah, bukan?"
Aku mengangguk, "Iya, mestinya. Biasanya begitu. Tapi saya terlambat datang."
"Seperti apa Purwokerto sekarang? Saya cuma sering lewat, tapi nggak pernah mampir."
"Sekarang lebih ramai. Sudah ada taksi."
"O, ya? Tapi bukankah Purwokerto kota kecil dengan penduduk hanya sekitar 3 juta dan dengan tingkat ekonomi rata-rata kelas menengah ke bawah? Lalu siapa yang akan naik taksi? Ke mana mereka naik taksi? Toh kotanya kecil?"
Aku menganggakat bahu, "Barangkali agar benar-benar disebut kota. Tapi katanya, taksi itu dimaksudkan untuk kelas menengah atas, yang mampu membayar harga tanpa argo."
"Jadi kalo yang naik kelas ece-ece, mesti ramai-ramai dong biar bisa patungan?" Kami tertawa.
"Dulu ada Mickey Mouse?"
"Sekarang diganti Ramayana dan juga sudah ada hipermarket."
“Saya dulu pernah tinggal di Cilacap, sesekali main ke Purwokerto. Kota itu masih belum seramai seperti yang Adik ceritakan."
Ya, Purwokerto. Banyumasku. Inilah tanah nan sunyi nan tua. Ia sama seperti perempuan lanjut usiaku dalam celoteh yang dibisukan. Ia adalah tempat yang tenang nan sejuk di kaki gunung Slamet, dengan hujan yang berlimpah, tanah yang gembur. Dan juga dengan orang-orangnya yang sepertinya tenang, yang lebih memilih untuk diam, dan masih menyisakan khas-nya sebagai bekas jajahan, yang ‘dimik-dimik’ pada atasannya. Hingga kau lihat, Banyumasku kerap diam.
Tapi kepulanganku kali ini berada dalam wilayah individual yang berhubungan dengan garis emosi, menautkan persinggungan rasa. Rindu yang getir. Sebab jika aku sampai nanti, tak lagi sambutan hangat penuh harap cemas dari perempuan itu. Dan aku akan merasakan kekopongan yang teramat dalam. Ampang. Kutemu nanti sebuah ranjang kosong yang tak berpenghuni lagi.
Mencapai seperempat jarak tempuh, masing-masing penumpang kereta memilih untuk menikmati perjalanan sendiri-sendiri saja. Mungkin lebih baik begitu. Sebab kereta malam tak sehingar kereta siang, yang seringnya dilatari dengan nyanyian pengamen, kadang-kadang ia seorang banci, nan sumbang, pedagang asongan, dan anak-anak kecil peminta-minta di luar kereta dengan tangan-tangan mungil yang terjulur di jendela dan bersuara tak putus-putusnya,"Uang, Bu, Pak, Mas, Mbak...." Sesekali, percampuran kasihan, takut mereka tercelakai, dan juga sebal pada mereka, pada lingkungan yang jadikan mereka seperti itu, terlebih pada sejarah negeri ini yang sangat kondusif menumbuhkembangkan munculnya mereka, aku ulurkan tangan dengan beberapa logam uang dalam genggaman. Pernah kudengar komentar dari penumpang di depanku, yang pandangnya terhalang oleh kursi, "Biarin aja, Dik, nanti jadi ketagihan." Aku menjawab lirih, "Iya...." Aku ingin menyangkalnya. Tentu bukan semata karena pemberian itu sehingga mereka menjadi ketagihan. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
Di kereta malam ini semuanya terminimalisir. Namun tidurku tetap tak genap dalam temaram lampu dan pemandangan yang melulu gulita di sebelah kanan jendelaku. Tak jua sampai pada mimpi, yang menurut 'pakar tidur' merupakan sebuah syarat tidur berkualitas. Di lantai, orang-orang tanpa tiket berserakan seperti korban bencana. Perjalanan tercepat masih sekitar 4 jam lagi untuk sampai di stasiun tujuan. Desing itu terus, hanya sesekali terhenti saat persimpangan. Iramanya konstan, yang dalam keadaan biasa sungguh mudah melelapkanku. Rindu dendam, aroma kesedihan, teraduk. Apalagi, kepulanganku berbau duka. Perempuan lanjut usia itu kini cuma cerita.
Perempuan itu tersenyum padaku pada satu ketika, "Adakah aku jadi luka bagi kalian?" Ia telah tidak lagi bisa menikmati harinya seperti sebelumnya. Ia bilang, ia telah kehilangan matahari, pepadian yang menguning, tanah yang subur; gairahnya dalam kehidupan ini. Aku, kami, tak kunjung bisa menjawabnya, apakah kehilangannya adalah luka baginya semata, atau juga bagiku, bagi kami, dalam konteks yang berbeda.
Dan aku ingin menggapainya dalam kasih yang menyala, atas semangatnya meniti jalan ini sendirian saja, dengan anak-anak tempatnya merangkai mimpi sederhana tentang hidup ini. Namun, ia telah terbiasa dengan harap yang tak nyata. Atau barangkali, ia telah begitu mengenal seluk hidup ini, sehingga tak pernah menggantungkan pada harap, seperti sangkaku, sangka kami.
Cerita silih berganti, tak selalu menyenangkan hati. Waktu membawanya semakin jauh dari kami, seolah usia menjadi jarak rentang dengannya. Ia berendezvous, dan kami melaju dengan napas yang kerap terengah. Tapi tak selalu berarti bahwa ia mundur.
Baginya mungkin, kami hanya sebentuk pertalian darah yang disahkan dalam hukum biologis, selebihnya, kami telah menjadi utopia yang ber'pora' sendiri dalam masa yang seolah bukan lagi untuknya.
Keretaku melaju tidak kencang, dengan guncangan-guncangan kecilnya nan khas, rasanya begitu lama untuk segera sampai, yang membuatku was-was, sebab berita kecelakaan tidak surut-surutnya di negeri ini. Sebuah stasiun antara. Aku mengetahuinya dari papan nama, yang terlihat berkat secercah cahaya lampu di depan bangunan tua peninggalan Belanda itu. Sunyi sekali. Tahun kemarin, di sini sebuah kereta pengangkut minyak anjlok menjelang tengah malam. Saat itu, isu kelangkaan BBM tengah menyeruak. Ada yang menghubungkannya dengan isu itu, tapi tak pernah terbukti. Dan sebagian lagi menghubungkannya dengan cerita mistis, bahwa di situ memang acap terjadi bencana. Entah karena cerita mistis itu atau memang karena gelisah yang tak kunjung pergi dariku, stasiun antara itu terlihat 'singkur'.
Ketika kereta kembali melaju, getar di handphone-ku menunjukkan sebuah telepon masuk.
"Sampai di mana?" tanya suara di seberang sana. Saudara sekandungku. Kulihat jam. 01.30.
"Ssudah dekat. Sekitar satu jam lagi mungkin sampai."
Laki-laki di sampingku tlah lelap, pun laki-laki di kursi seberang, di seberang depannya lagi, di lantai, dan semuanya membentuk konfigurasi tidur yang sempurna, kecuali aku, dalam separuh getir, dalam mengenang sedemikian dalam. Petugas restorasi sesekali liwat. "Kopi hangat, teh hangat...," tawar mereka, pada penumpang yang barangkali terjaga.