Senin, 28 Juli 2008

Aku tak punya kata

(Aku tak punya kata-kata lagi, aku cuma punya tanya ; Mengapa?
Tentang si Krangean yang hidup dari dalam dongeng nyanyian ibuku) :

Pagi
-Duh simbok, aku tidak kuat menahan lapar
-Si Krangean, si Krangean... tunggulah akan kutanamkan pohon pisang
Siang
-Duh simbok, aku benar-benar lapar
-Si Krangean anakku, tunggulah, pisangnya belum lagi matang
Sore
-Duh simbok, sudah berbulan-bulan tak ada makanan
-Krangean anakku, bersabarlah, kau makanlah ini dulu, batu yang telah kurebus
Malam
-Duh, simbok, kapan pisang akan matang dan bisa kumakan?
-Krangean anakku, marilah kita coba tengok pohon pisang, siapa tahu telah berbuah matang
Pergilah mereka ke ladang. Krangean digendongnya.
Beruntunglah, pisang telah matang dan siap dibawa pulang
-Lihatlah Krangean, pisang telah matang, kau bisa makan sepuasmu sampai kau kenyang
Tapi Krangean diam
-Tidakkah kau senang Krangean, pisangnya sudah matang
Krangean tetap diam
Dan air mata si ibu tumpahlah
-Krangean, siapa lagi kini yang kan bernyanyi tentang harapan pada pohon pisang?


(Kupikir itu cuma ada dalam dongeng yang begitu kusedihkan di masa kecilku.
Tapi ternyata itu kenyataan ketika ratusan balita mati karena tak dapat asupan gizi
-Duh, kapan sayup lagu Krangean akan berhenti menari di gendang telingaku?)

Puisi-puisi koe

Tentang dia : Perempuan yang menanti (1)

‘Dari tulang rusukku yang hilang kau tercipta
Maka kau wajib terlindungi
Maka jangan beranjak
Aku kan keliling dunia
Biar kau di sini saja , manis
Tak tanggungkan beban apapun
Tidurlah dengan nyaman, kelinciku
Dalam mimpi
Kau putri raja
Aku pelayanmu’
Begitulah kata laki-laki itu pada ibuku
Dan kemudian pergilah laki-laki itu
Ingin arungi dan kantongi dunia
Dalam itu, ia bertemu dengan perempuan lainnya
Dan bisikkan rayuan serupa
Begitulah, perempuan itu dan yang lain dan lainnya lagi yang ditemuinya terbuai dalam tiap ucapan
terlelap dalam selimut cerita
Mimpikan laki-laki itu kembali, dengan seribu dongeng tentang dunia ini.


Untuk direnungkan

Mungkin kau benar dan aku salah
Mungkin kau tahu lebih dan aku tak tahu
Mungkin kau paham dan aku tengah bertanya

Tapi mungkin bisa sebaliknya

Kita
Berserak harap
Juga khayal
Dan belum ke mana jua
Cuma bersetubuh dengan mimpi

Mungkin karna angin yang berlawan
Sauh yang sarat muatan
Nahkoda amatir
Atau bendera salah terpasang
Hingga karamlah kita

Mungkin kita harus lebih awas memandang



RINDU

Dan kembali kuingin bercinta
Dengan-Mu
Luruhkan semua egoku
Merindumu lumerkan beku
Mengindahkan pedir
Dengan apa kau kulukis?

02 jan ’05 + 14 April ‘08

Buat Malaikat Kecilku

Kutempuh jalan ini
Baru mulai,lagi…
Dan masih bermil-mil jauhnya
Tengah kucari dalam sendiri
Wahai,
Tak ada dan belum pernah
Kemapananku tak sungguh tentramkanku
Banyak Tanya karam
Melesak ke dasar
Dalam sendiri pada gulita
Kulihat mereka dari ujung mata
Hatiku moyak mengenangkan itu
Berdentum
Kasihku,
Biar kupegang lembut tanganmu
Kudekap kau dalam kasih
Kita sama lihat bagian gelap dunia ini
Gundah, gelisah
Biar tumpah

Malam kerap sepi
Luka
Kecewa
Pedir
Takkah berlalu?


March, 15 2006
01.05 am

Tak teraih hatimu
Untuk diam di sini
Dalam cinta yang dalam
Yang tak seorangpun bisa masuki,
Tanpa koma dan jeda
Tanpa jendela
Dan tunjukkan hatimu utuh
Tanpa serpih
Meski ku bilang berulang, bongkah hati takkan lagi terbagi
Pergi saja dari sini
Sebuah dinding telah retak kini
Yang terajut pun terurai…


Tentang dia : Perempuan yang Menanti (2)

Biar kujahitkan baju hangat untukmu
Sebab malam dingin pun sepi
Dan menusuk kulitmu yang tak lagi tebal dan kenyal
Lelaki itu tak tentu pulang
Biar kusulamkan sutra buat selimut tidurmu
Agar kau tidur nyenyak
Tak diganggu mimpi buruk
Tentang lelaki yang tak kembali
Biar kuperdengarkan alunan lagu
Yang gembirakan hati dan sunggingkan senyummu
Lupakan saja lelakimu
Nikmati hidup dalam sinar bulan yang utuh
Atau hangat mentari yang sepuh





Hilang

Kurasakan hilang tempat yang nyaman itu
Tempatku bersandar dalam duka yang dalam
Dalam pedir yang tak tertanggungkan
Dalam gundah dan gelisah
Dalam bimbang dan ragu

Tempatku berkisah tentang semua suka
Tentang semua yang menakjubkan
Tentang semua gembira

Kurasa hilang tempat untukku di hatinya, di harinya
Kurasa hilang tempat kita menyatu dan berbagi
Apa gerangan yang telah merenggutnya?

Senin, 21 April 2008

Puisi Kita

Mungkin kita jiwa yang telah sama berharap

Panjang dan tak kunjung datangnya ia

Dan tak pula mampu melihat dalam-dalam

Hingga kita sama hampir menyerah

Kita jiwa yang sama gelisah

Yang tak terucap

Sama lelah

dan harusnya berhenti,

Sama tiada mengerti, dalam bersama.

Dan harusnya sama diam dan dalam hayati,

Harus satu.


Kamis, 17 April 2008

Pada Kereta ( I )

Jakarta-Purwokerto kutempuh dengan kereta bisnis, pada akhir Minggu beberapa waktu lalu. Pada hari di ambang malam. Bagiku, dengan gaji yang sangat standar, harga tiketnya terasa mahal, apalagi dalam kondisi keuangan yang sedang tidak kondusif. Tapi demi sebuah penghargaan terhadap perempuan yang telah pernah menjadikan masa kecilku penuh dengan nuansa, kulewati juga perjalanan yang tidak selalu menyenangkan.
Ku terbayang pada bau cerobong asap. Peluh dalam sesak. Minyak gosok bercampur dengan minyak wangi. 'Pesing'. Tangisan bayi. Ah, akankah perjalananku sunyi di antara ingar-bingar itu semua? Ternyata kereta bisnisku sedikit lebih baik dari bayanganku, mungkin karena malam.
"Turun di mana, Dik?" laki-laki yang duduk di sebelahku bertanya saat kereta bergerak menjauhi Jakarta.
"Purwokerto."
"O, kalo saya Solo. Berapa harga tiketnya kalau cuma sampai Purwokerto."
"Jauh-dekat harganya sama."
"Mustinya Adik ini naik kereta sebelumnya, yang jurusan Purwokerto dan Cilacap. Tiketnya lebih murah, bukan?"
Aku mengangguk, "Iya, mestinya. Biasanya begitu. Tapi saya terlambat datang."
"Seperti apa Purwokerto sekarang? Saya cuma sering lewat, tapi nggak pernah mampir."
"Sekarang lebih ramai. Sudah ada taksi."
"O, ya? Tapi bukankah Purwokerto kota kecil dengan penduduk hanya sekitar 3 juta dan dengan tingkat ekonomi rata-rata kelas menengah ke bawah? Lalu siapa yang akan naik taksi? Ke mana mereka naik taksi? Toh kotanya kecil?"
Aku menganggakat bahu, "Barangkali agar benar-benar disebut kota. Tapi katanya, taksi itu dimaksudkan untuk kelas menengah atas, yang mampu membayar harga tanpa argo."
"Jadi kalo yang naik kelas ece-ece, mesti ramai-ramai dong biar bisa patungan?" Kami tertawa.
"Dulu ada Mickey Mouse?"
"Sekarang diganti Ramayana dan juga sudah ada hipermarket."
“Saya dulu pernah tinggal di Cilacap, sesekali main ke Purwokerto. Kota itu masih belum seramai seperti yang Adik ceritakan."
Ya, Purwokerto. Banyumasku. Inilah tanah nan sunyi nan tua. Ia sama seperti perempuan lanjut usiaku dalam celoteh yang dibisukan. Ia adalah tempat yang tenang nan sejuk di kaki gunung Slamet, dengan hujan yang berlimpah, tanah yang gembur. Dan juga dengan orang-orangnya yang sepertinya tenang, yang lebih memilih untuk diam, dan masih menyisakan khas-nya sebagai bekas jajahan, yang ‘dimik-dimik’ pada atasannya. Hingga kau lihat, Banyumasku kerap diam.
Tapi kepulanganku kali ini berada dalam wilayah individual yang berhubungan dengan garis emosi, menautkan persinggungan rasa. Rindu yang getir. Sebab jika aku sampai nanti, tak lagi sambutan hangat penuh harap cemas dari perempuan itu. Dan aku akan merasakan kekopongan yang teramat dalam. Ampang. Kutemu nanti sebuah ranjang kosong yang tak berpenghuni lagi.
Mencapai seperempat jarak tempuh, masing-masing penumpang kereta memilih untuk menikmati perjalanan sendiri-sendiri saja. Mungkin lebih baik begitu. Sebab kereta malam tak sehingar kereta siang, yang seringnya dilatari dengan nyanyian pengamen, kadang-kadang ia seorang banci, nan sumbang, pedagang asongan, dan anak-anak kecil peminta-minta di luar kereta dengan tangan-tangan mungil yang terjulur di jendela dan bersuara tak putus-putusnya,"Uang, Bu, Pak, Mas, Mbak...." Sesekali, percampuran kasihan, takut mereka tercelakai, dan juga sebal pada mereka, pada lingkungan yang jadikan mereka seperti itu, terlebih pada sejarah negeri ini yang sangat kondusif menumbuhkembangkan munculnya mereka, aku ulurkan tangan dengan beberapa logam uang dalam genggaman. Pernah kudengar komentar dari penumpang di depanku, yang pandangnya terhalang oleh kursi, "Biarin aja, Dik, nanti jadi ketagihan." Aku menjawab lirih, "Iya...." Aku ingin menyangkalnya. Tentu bukan semata karena pemberian itu sehingga mereka menjadi ketagihan. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
Di kereta malam ini semuanya terminimalisir. Namun tidurku tetap tak genap dalam temaram lampu dan pemandangan yang melulu gulita di sebelah kanan jendelaku. Tak jua sampai pada mimpi, yang menurut 'pakar tidur' merupakan sebuah syarat tidur berkualitas. Di lantai, orang-orang tanpa tiket berserakan seperti korban bencana. Perjalanan tercepat masih sekitar 4 jam lagi untuk sampai di stasiun tujuan. Desing itu terus, hanya sesekali terhenti saat persimpangan. Iramanya konstan, yang dalam keadaan biasa sungguh mudah melelapkanku. Rindu dendam, aroma kesedihan, teraduk. Apalagi, kepulanganku berbau duka. Perempuan lanjut usia itu kini cuma cerita.
Perempuan itu tersenyum padaku pada satu ketika, "Adakah aku jadi luka bagi kalian?" Ia telah tidak lagi bisa menikmati harinya seperti sebelumnya. Ia bilang, ia telah kehilangan matahari, pepadian yang menguning, tanah yang subur; gairahnya dalam kehidupan ini. Aku, kami, tak kunjung bisa menjawabnya, apakah kehilangannya adalah luka baginya semata, atau juga bagiku, bagi kami, dalam konteks yang berbeda.
Dan aku ingin menggapainya dalam kasih yang menyala, atas semangatnya meniti jalan ini sendirian saja, dengan anak-anak tempatnya merangkai mimpi sederhana tentang hidup ini. Namun, ia telah terbiasa dengan harap yang tak nyata. Atau barangkali, ia telah begitu mengenal seluk hidup ini, sehingga tak pernah menggantungkan pada harap, seperti sangkaku, sangka kami.
Cerita silih berganti, tak selalu menyenangkan hati. Waktu membawanya semakin jauh dari kami, seolah usia menjadi jarak rentang dengannya. Ia berendezvous, dan kami melaju dengan napas yang kerap terengah. Tapi tak selalu berarti bahwa ia mundur.
Baginya mungkin, kami hanya sebentuk pertalian darah yang disahkan dalam hukum biologis, selebihnya, kami telah menjadi utopia yang ber'pora' sendiri dalam masa yang seolah bukan lagi untuknya.
Keretaku melaju tidak kencang, dengan guncangan-guncangan kecilnya nan khas, rasanya begitu lama untuk segera sampai, yang membuatku was-was, sebab berita kecelakaan tidak surut-surutnya di negeri ini. Sebuah stasiun antara. Aku mengetahuinya dari papan nama, yang terlihat berkat secercah cahaya lampu di depan bangunan tua peninggalan Belanda itu. Sunyi sekali. Tahun kemarin, di sini sebuah kereta pengangkut minyak anjlok menjelang tengah malam. Saat itu, isu kelangkaan BBM tengah menyeruak. Ada yang menghubungkannya dengan isu itu, tapi tak pernah terbukti. Dan sebagian lagi menghubungkannya dengan cerita mistis, bahwa di situ memang acap terjadi bencana. Entah karena cerita mistis itu atau memang karena gelisah yang tak kunjung pergi dariku, stasiun antara itu terlihat 'singkur'.
Ketika kereta kembali melaju, getar di handphone-ku menunjukkan sebuah telepon masuk.
"Sampai di mana?" tanya suara di seberang sana. Saudara sekandungku. Kulihat jam. 01.30.
"Ssudah dekat. Sekitar satu jam lagi mungkin sampai."
Laki-laki di sampingku tlah lelap, pun laki-laki di kursi seberang, di seberang depannya lagi, di lantai, dan semuanya membentuk konfigurasi tidur yang sempurna, kecuali aku, dalam separuh getir, dalam mengenang sedemikian dalam. Petugas restorasi sesekali liwat. "Kopi hangat, teh hangat...," tawar mereka, pada penumpang yang barangkali terjaga.